Kontinyuitas Editing
Oleh Diki Umbara
Editor adalah seseorang yang melakukan penyuntingan gambar pada saat paska produksi. Jadi editor, bekerja setelah proses produksi selesai. Namun kini, editor sudah dilibatkan bahkan sebelum produksi dimulai. Oleh produser dan sutradara, editor diminta untuk memaparkan konsep editing apakah yang akan digunakan pada saat nanti akan melakukan penyuntingan gambar. Sebelum memaparkan konsep editing pada film yang akan dieditnya, seorang editor harus memahami teori editing.
Editing atau menyunting adalah tehnik penggabungan beberapa shot tunggal menjadi satu kesatuan cerita yang utuh. Editor menyusun shot-shot tersebut sehingga menjadi sebuah scene, kemudian dari penyusunan scene-scene tersebut akan tercipta sequence sehingga pada akhirnya akan tercipta sebuah film yang utuh. Seperti yang sudah saya jelaskan pada artikel sebelumnya, yang dinamakan satu shot yakni dari mulai perekaman (ketika cameraman menekan tombol start) sampai perekaman itu dihentikan, yakni sampai cameraman menekan tombol stop, tanpa interupsi. Sedangkan scene artinya adalah adegan, yakni satu adegan dalam satu tempat atau lokasi serta waktu yang sama. Dan sequence merupakan kumpulan dari beberapa scene, atau bisa juga satu sequence merupakan satu scene juga.
Hal yang paling esensi atau mendasar yang dilakukan seorang editor ketika menyunting gambar adalah bagaimana agar cerita dalam film tersebut bisa dipahami oleh penonton. Ini berarti berkaitan dengan telling the story, bagaimana editor menceritakan kembali cerita yang sudah ditulis oleh seorang script writer serta serta divisualkan oleh seorang sutradara. Editor membangun rangkaian shot-shot ini menjadi satu kesatuan cerita yang berkesinambungan. Teori ini dinamakan editing continuity, kontinyuitas editing ini berkaitan dengan kontinyuitas pemotongan gambar atau cutting to continuity.
Editing Continuity
Metode editing continuity merupakan konsep editing cukup populer di kalangan editor, disadari atau tidak bahkan banyak dilakukan oleh editor yang belajar dengan otodidak sekalipun. Secara sederhana konsep editing dibagi dua yakni visible cutting dan invisible cutting. Editing continuity masuk pada kategori invisible cutting. Dengan invisible cutting, penonton tidak “melihat” atau merasakan adanya sambungan antar shot. Inilah dasar konsep editing continuity, selain cutting untuk melanjutkan cerita juga bagaimana agar ada kesinambungan/matching antar shot. Match atau kesinambungan antar shot inilah yang ditemukan oleh para leluhur film editing semisal Edwin S. Porter serta Pudkovin yang melanjutkan kiprah G.W. Griffith sebelumnya. Dia menemukan formula agar terjadi kesinambungan antar shot. Teori ini dinamakan three match cut, yakni:
- Matching The Look
- Matching The Position
- Matching The Movement
Matching The Look
Ini berkaitan dengan ruang dan bentuk, shot yang satu disambungkan ke shot berikutnya dengan memperhatikan bentuk dan ruang. Ketika bentuk atau ruang tidak memiliki kesamaan, maka hampir dipastikan sambungan tersebut akan terlihat. Dan ini yang dinamakan jumping, sambungan menjadi visible atau terlihat.
Matching The Position
Kesinambungan secara posisi antara shot sebelum dengan shot sesudahnya. Editor harus melihat apakah msalnya posisi subyek pada satu shot terdapat kesamaan dengan shot berikutnya atau tidak. Jika tidak ada kesamaan maka sambungan antar shot akan terganggu, ini artinya sambungan tersebut tidak match, tidak cocok.
Matching The Movement
Sambungan satu shot dengan shot berikutnya dilakukan jika ada kesinambungan secara pergerakannya. Yang dimaksud pergerakkan di sini yakni pergerakkan subyek, pergerakkan kamera, atau pergerakkan kedua-duanya.
Pada intinya, dengan memahami kaidah three match cut di atas maka penonton secara tidak sadar akan merasakan kesinambungan cerita, penonton tidak akan merasakan adanya cut atau sambungan antar shot. Agar setiap sambungan dibuat sehalus mungkin, usahakan agar ketika melakukan penyuntingan gambar posisikan editor sebagai penonton, demikian saran Sastha Sunu seorang Senior Film Editor yang juga diamini Cesa David dalam satu diskusi di EDL (Editor Discussion League). EDL merupakan diskusi yang terbuka untuk umum yang dimotori oleh AEI (Asossiasi Editor Indonesia), sayangnya diskusi ini sudah lama belum diselenggarakan lagi. AEI dinaungi oleh Board of Director terdiri dari Sastha Sunu, Aline Jusria, Ahsan Adrian, Diki Umbara,
Teori Lainnya
Hemmm….jadi editing itu ada teorinya ya? Yup tentu saja, dengan berbekal teori ini akan memudahkan editor bagaimana merangkai shot-shot menjadi satu rangkaian cerita yang bisa merekontruksi emosi penonton. Masih banyak lagi teori editing lainnya, misalnya tentang juxtaposition yakni tentang penempatan posisi shot, itu akan berpengaruh pada cerita yang dibangun oleh editor.
Written by Ahsan Adrian
Sejarah Editing
Pada saat lumiere mulai membuat film, editing belum menjadi bagian dari proses pembuatan film. Karena pada saat itu film-film lumiere hanya terdiri dari satu buah shot (single shot) dengan panjang durasi yang sama dengan kejadian sesungguhnya (real time). Tidak ada manipulasi waktu.
Melies adalah orang pertama yang membuat film dengan melalui proses editing. Editing yang dilakukannya masih sangat sederhana. Film pertamanya yang menggambarkan perjalanan orang ke bulan (a trip to the moon) hanya menggunakan editing untuk kesinambungan bercerita (cutting to continuity). Melies melakukan editing untuk menyambung tiap2 adegan yang hanya terdiri dari satu shot untuk tiap adegannya (sequence shot).
Le Voyage Dans la Lune – A Trip to the Moon (1902)
Dari sini bisa kita simpulkan bahwa editing terjadi apabila terjadi proses pemotongan dari banyak shot.
Seiring dengan perkembangan jaman, editing juga mengalami perubahan. Sebuah film tidak lagi terdiri dari satu shot untuk tiap adegannya. Kita juga kemudian mengenal adanya tipe shot. Sehingga editing memegang peranan yang cukup penting dalam pembuatan dalam sebuah film.
Dengan adanya editing, kita akhirnya mengenal adanya film time, waktu yang terjadi dalam film. Editing dapat melakukan manipulasi waktu dalam film. Sehingga waktu yang diciptakan bisa menjadi lebih singkat, atau malah sebaliknya menjadi lebih lambat. Sebagai contoh, sebuah kejadian 10 tahun bisa diceritakan hanya dalam waktu 10 menit. Begitu juga waktu yang hanya 10 menit, bisa diceritakan menjadi 1 jam.
Meskipun tahapan editing dikerjakan oleh editor dan dilakukan setelah proses pengambilan gambar, pemikiran editing (editorial thinking) sudah harus dilakukan oleh semua tim kreatif jauh sebelum pengambilan gambar dimulai. Sehingga ketika semuanya sudah masuk ke meja editing menjadi materi yang siap untuk diedit.
Pengertian Editing
Editing adalah proses penyambungan gambar dari banyak shot tunggal sehingga menjadi kesatuan cerita yang utuh.
Editor menyusun shot-shot tersebut sehingga menjadi sebuah scene, kemudian dari penyusunan scene-scene tersebut akan tercipta sequence sehingga pada akhirnya akan tercipta sebuah film yang utuh. Ibarat menulis sebuah cerita, sebuah shot bisa dikatakan sebuah kata, scene adalah kalimat, sequence adalah paragraph. Sebuah cerita akan utuh bilah terdapat semua unsur tersebut, begitu juga dengan film.
Seorang editor harus tahu bagaimana bertutur cerita yang baik. Dia bertanggung jawab dalam pengerjaan akhir sebuah film. Tanpa proses editing yang baik, sebuah produksi yang telah mengorbankan uang dan tenaga menjadi sia-sia. Memang benar, seorang editor hanya bisa menghasilkan film yang baik, sebaik materi yang dia terima. Hanya saja, seorang editor yang baik dan kreatif mampu menutupi semua kekurangan yang dialami ketika proses pengambilan gambar. Sehingga penonton tidak pernah tahu dimana letak ketidaksempurnaan itu.
Seorang editor dituntut untuk membuat keputusan setiap saat. Dia menentukan shot mana yang akan dipakai, berapa lama shot itu akan dipakai, kapan sebuah shot harus dipotong, bagaimana urutan shot yang disusun, dan sebagainya. Sebuah awal adegan bisa saja dimulai dengan Establish Shot sebuah tempat kejadian, tapi bisa juga dimulai dengan Close Up aktor. Sebuah materi yang sama bisa menghasilkan banyak kemungkinan. Apalagi dikerjakan oleh editor yang berbeda. Jangan ragu untuk bereksperimen dalam menyusun shot-shot tersebut.
Untuk membantu menentukan keputusan-keputusan tersebut, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Antara lain:
a. fungsional, menentukan sebuah shot berdasarkan fungsinya.
Sebuah shot lebar (Wide Shot) mempunyai fungsi yang berbeda dengan shot padat (Close Shot). Untuk menekankan sesuatu biasanya digunakan shot padat.
b. proposional, menempatkan sebuah shot sesuai dengan proporsinya.
Panjang pendek sebuah shot haruslah proposional. Begitu juga dengan penentuan titik potong (cutting point) dari sebuah shot. Penempatan shot yang terlalu panjang akan membuat penonton menjadi bosan, meskipun shot itu sangatlah baik. Begitu juga dengan penempatan shot yang terlalu pendek akan membuat penonton tidak menangkap pesan yang ingin disampaikan.
c. struktural, menentukan struktur susunan shot yang dibuat.
Struktur editing tidaklah harus berurutan dari a sampai z. Bisa saja strukturnya dimulai dari b-c-a-g-d dan seterusnya. Ini juga dikenal sebagai juxtaposition.
Pertimbangan ketiga hal diatas agar tujuan dari pesan yang ingin kita sampaikan bisa tercapai dengan baik.
TIPS
Posisikan diri kita sebagai penonton setelah kita selesai mengedit sebagian atau seluruh film kita. Tanyakan pada diri kita apakah pesan yang ingin disampaikan bisa diterima atau tidak. Mintalah bantua orang lain untuk menonton hasil kita untuk membantu mengurangi penilaian kita yang terlalu subyektif. Tanyakan juga kepada mereka apakah pesan yang mereka terima, apakah sudah sama dengan pesan yang ingin kita sampaikan
Editing berdasarkan media rekamnya
1. editing dengan media seluloid
editing dengan media seluloid secara fisik memotong dan menyambung pita seloluid. Biasanya menggunakan alat editing dengan merk STEINBECK dan MOVIOLA.
2. edting dengan media video
editing dengan melakukan proses copy dari satu pita video ke pita video yang lain. Menggunakan minimal dua alat yang berfungsi sebagai pemutar dan perekam (VTR, Video Tape Recorder). Editing seperti ini juga dikenal sebagai editing Deck to Deck atau Tape to Tape.
Karena menggunakan alat analog, kemungkinan terjadinya penurunan kualitas sangatlah besar. Selain itu, kemungkinan pita tergores (scratch) juga besar dikarenakan terlalu seringnya pita kita diputar.
Saat ini hampir semua proses editing dilakukan dengan menggunakan komputer. Semua materi terlebih dahulu ditransfer (capture/digitize) ke dalam komputer, baru kemudian dilakukan proses editing. Untuk ini diperlukan seperangkat komputer multimedia dengan video capture card (firewire card apabila menggunakan video digital) dan software editing. Saat ini banyak sekali software editing yang beredar di pasaran. Yang paling sering digunakan dalam dunia profesional untuk Digital Video (DV) adalah AVID XpressPro®, Adobe Premiere Pro® dan Final Cut Pro®.
Dalam pengerjaannya, editing dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Linear Editing
Editing dengan menyusun gambar satu per satu secara berurutan dari awal hingga akhir (seperti membentuk sebuah garis lurus tanpa putus). Sehingga seandainya terjadi kesalahan dalam menyusun gambar, kita harus mengulang kembali proses editing yang telah kita lakukan.
Editing dengan proses seperti ini biasanya dilakukan dengan media video.
2. Non-Linear Editing (NLE)
Editing dengan menyusun gambar secara acak (tidak berurutan). Dengan editng seperti ini, kita tidak lagi harus memulai editing dari awal dan berurutan hingga akhir. Kita bisa saja memulainya dari tengah, akhir, atau darimana pun. Tergantung dari materi mana yang telah siap terlebih dahulu. Dengan editing ini juga, memungkinkan kita untuk merubah susunan dan panjang gambar yang telah kita buat sebelumnya.
Editing dengan proses seperti ini hanya mungkin dilakukan pada media seluloid dan tekhnologi digital (komputer). Karena editing dengan media film sudah sangat jarang digunakan dan pemakaian komputer untuk editing semakin sering kita temui, maka Non Linear Editing identik dengan Digital Video Editing.
Editing yang akan kita gunakan adalah Non-Linear Editing
Editing Dokumenter
Secara Garis Besar, jenis film terbagi menjadi 2, yaitu fiksi (cerita) dan non-fiksi (dokumenter). Dalam pengerjaannya, khususnya di bidang editing, tiap-tiap film membutuhkan penanganan khusus. Sebuah film cerita lebih menekankan pada pengembangan plot cerita, sedang dokumenter lebih menekankan pada pemaparan sebuah tema.
Produksi film cerita biasanya jauh lebih bisa dikontrol daripada dokumenter. Skenario yang telah dibuat kemudian dipecah menjadi gambar-gambar yang siap di rekam (director shot/shot list). Kemudian semua kru mempersiapkan adegan yang akan direkam. Penataan kamera, lampu, warna, pemain dan sebagainya disiapkan untuk menerjemahkan skenario yang ada menjadi gambar (footage) yang siap diedit. Setelah itu editor bertugas menggabung potongan-potongan shot tersebut menjadi satu kesatuan cerita yang utuh sesuai dengan skenario yang telah dibuat.
Dokumenter secara umum bekerja dengan cara yang berlawanan. Tidak ada pemain disini, hanya subyek yang diikuti oleh pembuat film. Orang-orang sungguhan yang berada dalam suasana sungguhan, melakukan hal-hal yang biasa mereka lakukan. Penempatan kamera dan lampu hendaknya bukan menjadi hal yang menonjol. Peristiwa yang terjadi di depan kita tidak memungkinkan untuk kita melakukan itu. Peran sutradara menjadi tidak besar. Film dokumenter dibentuk di dalam editing. Ini menjadikan editor memiliki fungsi yang sangat penting dalam menyelesaikan pembuatan film dokumenter. Fungsi ini memberi kebebasan lebih bagi seorang editor dokumenter. Hanya saja yang perlu diingat adalah, dengan kebebasan juga tertadapat tanggung jawab yang besar.
Film Fiksi
Keterangan:
• Logging: Mencatat dan memilih gambar yang akan kita pilih berdasarkan timecode yang ada dalam masing-masing kaset.
• NG Cutting: Memisahkan shot-shot yang tidak baik (NG/Not Good)
• Capture / Digitize: Proses memindahkan gambar dari kaset ke komputer
• Assembly: Menyusun gambar sesuai dengan skenario
Tidak ada komentar:
Posting Komentar